← Back Published on

Sosok Cerminan yang Hilang

Pagi yang indah untuk memulai hari pertama Vera untuk sekolah. Ia sangat bahagia telah mencapai kelas 12 di masa SMA-nya. Semangatnya terlihat ketika ia bangun lebih cepat dibanding Ayah dan Bundanya.

Ia bergegas menuju kamar Ayah dan Bundanya. Vera berteriak membangunkan mereka berdua hingga membuat sang Ayah kebingungan. Sontak bunda bangun dan segera mengajak Vera untuk turun ke dapur menyiapkan sarapan.

Sarapan selesai disiapkan, Vera segera bersiap-siap bergegas untuk sarapan bersama. Sang Ayah masih terlihat heran dengan perilaku Vera yang sangat amat bersemangat.

“Kamu kenapa? Kok kayaknya senang banget? Gak biasanya kamu kayak begini?” ucap Ayah yang bertanya-tanya.

“Ih, Ayah, hari ini kan hari pertamaku masuk sekolah. Aku harus semangat, karena sedikit lagi ‘kan aku mau lulus SMA. Habis itu, aku mau kuliah di kampus idolaku, yeay!” jawab Vera kegirangan.

“Benar! Kamu harus semangat, karena Bunda sangat mendukung kamu untuk masuk kampus itu. Seperti yang kita bicarakan minggu lalu, kampus itu juga pernah jadi kampus favorit Bunda dulu,” ucap bunda dengan uraian semangatnya.

“Oh, itu ... Universitas Padjadjaran? Ya, universitas itu memang terbilang bagus. Memang, kamu mau jurusan apa? Masih pilihan yang sama? Jurnalistik?” tanya sang Ayah.

“Tentu saja, Ayah. Seperti kata Bunda, aku ingin menjadi reporter yang handal!” tukas Vera.

Ayah dan Bunda saling melirik dan merasa bangga anaknya memiliki cita-cita yang tinggi. Terutama Bunda, yang sangat menginginkan anaknya memilih jalan sesuai pilihannya. Contohnya seperti buku bacaannya, lagu favoritnya, makanan kesukaannya, acara tontonan TV favoritnya, dan masih banyak lagi.

Suatu hari, Vera baru saja pulang dari mal. Ia ingin segera memamerkan rambut barunya, terlihat sama persis dengan bundanya yang baru saja potong tiga hari lalu. Saat Vera memamerkan gaya rambut barunya dengan gembira, Bunda merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bunda hanya bisa memuji dan memperlihatkannya di cermin besar favoritnya. Mereka berdua berdiri menghadap ke arah pantulan diri mereka. Dengan senyum lebar, Vera merasakan sentuhan-sentuhan sayang dari bundanya.

Sang bunda merasa heran dan tidak mengira, Vera rupanya sangat ingin mirip seperti dirinya. Keanehan tersebut hanya menjadi beban pikiran Bunda, ia tak akan pernah berani bertanya alasannya pada Vera. Ia tak ingin menyakiti hati anak kesayangannya. Tidak hanya perubahan penampilannya, sifat kepribadiannya pun perlahan mirip dengan bundanya. Beban pikiran pun semakin bertumpuk hingga ia pun menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi dengan anaknya.

Waktu berlalu tanpa masalah yang mereda, Bunda jatuh sakit dalam keadaan yang parah sehingga dirawat di rumah sakit. Vera yang mencintai bundanya pun tidak bisa tenang, ia duduk terdiam di sebelah bundanya berbaring.

“Kamu gak perlu sedih, Bunda gak apa-apa, kok. Bunda pasti sembuh,” ucap sang Bunda berusaha menenangkan Vera.

“Tapi, Bunda keliatannya makin parah. Semakin banyak obat yang Bunda minum,” elak Vera, khawatir.

“Gak perlu khawatir, obat-obat ini ‘kan biar bunda sembuh. Udah, kamu jangan sedih lagi. Kalau kamu semangat, Bunda akan lebih semangat!” kata Bunda.

Bunda berbohong, ia hanya ingin Vera tidak sedih akan kesulitan yang dihadapinya. Tentunya, semangat yang diberikan Bunda membuat Vera ikut semangat. Vera sangat berharap Bunda sehat kembali dan bisa pulang ke rumah.

Perjuangan yang panjang dengan waktu bersama dihabiskan di kamar perawatan berujung menyedihkan. Bunda tidak bertahan melawan sakitnya hingga akhirnya tutup usia.

Banyak orang yang datang ke rumah Vera untuk menyampaikan belasungkawa atas perginya Bunda Vera, bertolak belakang dengan perasaan Vera sendiri. Banyak yang bertanya kabar Vera, namun Vera tidak menjawab. Ia hanya bisa pergi ke kamarnya seakan ia butuh waktu.

Penasaran muncul di dalam hatinya, ia pun pergi menuju kamar bundanya. Ada perasaan yang janggal ketika ia masuk ke kamar bundanya. Seketika ia sadar, bahwa cermin favorit bundanya tertutup oleh sebuah kain. Tanpa pikiran apa pun, ia membuka kain penutup tersebut.

Dengan rasa terkejut, ia tidak melihat pantulan dirinya, sedangkan ia melihat semua pantulan benda lainya. Yang ia lihat hanyalah sosok bayangan buram tepat di hadapannya. Dengan rasa takut, Vera berjalan perlahan mendekati cermin tersebut. Namun, ia tak berani menyentuhnya. Jantungnya berdebar kencang tak seperti biasanya, air matanya perlahan mengalir jatuh ke lantai. Ia tidak mengerti apa yang terjadi.

Ia berusaha bergerak mencoba mengendalikan dirinya, namun tubuhnya terasa kaku dan ia tidak bisa bergerak. Jauh di dalam hatinya, ia ingin sekali berteriak minta tolong. Namun, ia merasa kehilangan jati dirinya. Ia merasa di dalam sebuah ruangan penuh dengan cermin yang mengelilingi dirinya, namun ia tidak bisa melihat dirinya sendiri di pantulan cermin itu.

Jauh di luar kesadarannya, ia tidak menyadari bahwa ia kehilangan sosok dirinya. Ia tidak bisa menyentuh jantung kepribadian dirinya selayaknya terjebak di labirin luas yang bertembok cermin. Sejauh apapun ia berlari mencari jalan keluar, yang ia rasakan hanyalah bayangan gelap buram tanpa tau siapa diri dia seutuhnya.

Ia terlalu berambisi agar tampak seperti sang Bunda. Seolah, ia ingin dirinyalah “Bunda” yang terlahir kembali. Kini, setelah Bunda tiada, Vera tak mengenal dirinya sendiri.

Penulis 100 karya terbaik, cipta cerpen anak negeri, Q-Lite Fighters Batch #2 (Certified)